Mahasiswa Bidikmisi Berprestasi dan Mandiri
Mahasiswa Bidikmisi Berprestasi dan Mandiri
Bidik misi merupakan beasiswa selama perkuliahan beserta tanggungan hidup yang diperuntukkan bagi lulusan SMA/SMK/MA yang memiliki potensi akademik bagus tapi terbatas dalam hal biaya. Bagi mahasiswa bidikmisi tentu sudah sepatutnya mensyukuri kesempatan yang telah diberikan, dengan pemberian biaya kuliah gratis serta tunjangan hidup per bulannya. Ibaratnya kamu ini udah kuliah gratis, digaji pula. Lalu nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?. Dan bukan hal yang tabu jika mahasiswa bidikmisi dituntut untuk bisa berprestasi dan mandiri. Tak ada program tanpa tujuan, selain untuk memberdayakan masyarakat yang kurang mampu. Bidikmisi menjadi alternatif pendidikan berkualitas untuk perekonomian kelas bawah menengah, yang juga ingin menghapus stigma negatif dalam pandangan masyarakat yang mengecap bahwa pendidikan itu mahal dan hanya diperuntukkan bagi orang kaya.
Saya sendiri merupakan salah satu penerima bidikmisi yang pada awalnya memiliki secuil pengalaman pahit. Dimana proses pendaftaran bidikmisi tidak terselesaikan sehingga saya beserta salah satu rekan harus menempuh jalur reguler pada awal semester, atas dasar kepercayaan akan kejaiban Tuhan akhirnya kami berpindah status menjadi mahasiswa bidimisi pengganti mulai semester dua. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketelitian pribadi dan minimnya pembimbingan saat proses pendafaran. Jadi jangan ditanyakan lagi, saya juga pernah merasakan bagaimana lika liku perjalanan menjadi mahasiswa reguler. Bersyukurnya, dengan tragedi itu banyak pengalaman dan pembelajaran yang bisa diambil untuk kedepannya.
Mahasiswa bidikmisi bukan sekedar pengejar IPK tinggi, tapi juga dituntut untuk turut aktif dalam berorganisasi. Harapannya, kelak mahasiswa bidikmisi mampu menjadi salah satu pengentas rantai kemiskinan di Indonesia. Serta mampu menjadi kunci gembok pembuka dari pemikiran tertutup perihal pendidikan, sehingga benang kusut dalam pemikiran masyarakat dapat dibenarkan. Dibalik seabrek harapan dan tujuan atau segudang visi dan misi, beberapa konflik bidikmisi yang mencekik terkadang kian memelik.
Salah satu fenomena yang terjadi ditengah biduk kehidupan mahasiswa bidikmisi yaitu tidak sedikit yang terlalu menggantungkan hidup dari biaya bidikmisi, padahal kita tahu sesuatu yang berlebih-lebihan tidaklah baik. Sehingga saat proses pencairan bidikmisi masih tahap permohonan dalam tempo waktu yang cukup lama akan menjadi suatu topik menarik yang ramai diperbincangkan, dimulai dari menunggu informasi living cost, mengelu-elukan keterlambatan pencairan bahkan sampai menyalahkan pihak tertentu. Kendati masih ada beberapa yang menengahi “Mbok yo sabar, ntar kalau udah waktunya pasti cair kok” dan yang paling saya suka quotes yang terlontar dari Ketua Komadiksi Smart UNS yakni “Ayok mahasiswa bidikmisi berdaya. Usaha bisnis? Usaha jualan? Ayok, cari jalan keluar utuk bidikmisi berdaya”, pada intinya meminta para anggotanya untuk belajar mandiri. Namun hal ini bukanlah perkara asing lagi di kalangan mahasiswa bidikmisi, bahkan mungkin sudah seperti tradisi yang tidak dapat direklamasi.
Sudah seyogyanya mahasiswa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, terutama mahasiswa bidikmisi yang mana biaya pendidikannya ditanggung oleh pemerintah. Oleh sebab itu, mahasiswa bidikmisi perlu dikembangkan jiwa kesadarannya akan tanggungjawab yang tidak bisa dipandang remeh itu. Wahai kalian mahasiswa bidikmisi, bukankah biaya dari pemerintah itu juga didapatkan dari uang pajak rakyat? Apa kontribusimu untuk memberdayakan masyarakat? Jikalau hanya bisa mengeluh saat uang bidikmisi belum turun, jika untuk mengikuti organisasi saja engkau sungkan, jika untuk menghasilkan sebuah karya saja engkau enggan. Bila sudah begini, apa yang patut dibanggakan? Apa yang hendak dipersembahkan untuk negeri yang katanya dicinta?

Sebab saya pun pernah menjadi mereka, dimana merasa eman (sayang) ketika kesempatan itu tidak dimanfaatkan, dimana mereka yang berlabel beasiswa menggunakan uang dengan tidak sewajarnya saat mahasiswa lain berusaha mencari penghasilan dari keringat mereka. Dengan mudahnya kita meleburkan uang tanpa perhitungan saat diluar sana banyak teman kita yang belum bisa merasakan bangku kuliah bahkan mengenyam sekolah pun tidak. Saya pernah menempati titik jenuh dimana saya melihat mahasiswa yang pendidikannya dijamin oleh pemerintah namun tidak dapat memanfaatkan peluang baik itu dengan bijak. “Kenapa begitu? Toh saya yang mahasiswa biasa aja berusaha tanpa mengandalkan kiriman orangtua. Kenapa belum turun aja mengeluh? Kenapa nggak tertarik ikut lomba itu, kenapa nggak ikut event ini, kalau aja saya bisa. Saya pingin ikut, sayangnya tidak memenuhi syarat” pikir mahasiswa biasa yang saat itu belum menduduki sebagai mahasiswa bidikmisi.
Terlalu naif memang, ketika kita terutama saya yang kala itu hanya memandang dari satu sudut pandang saja. Dan sekarang, saya paham benar kenapa keluh kesah itu otomatis keluar dari mulut mereka. Acapkali saya pun melakukan hal yang sama, namun selintas mengingat bahwa masih banyak mereka yang perjuangannya jauh lebih berat. Maka segera kutepis keluhan itu dengan istighfar, kembali bersyukur dengan tetap meminta yang terbaik. Tak tahukah? Ketika kita meminta kepadaNya untuk memberikan rejeki dari manapun, memberikan sesuatu yang terbaik, IA senantiasa mengabulkan diluar kesadaran diri kita. Tapi kita sudah terlanjur di borgol oleh keegoisan sehingga terlalu fokus pada satu pintu dan enggan membuka pintu yang lain.
Ayolah kawan, kita itu dididik bukan untuk bermanja-manja pada fasilitas yang tersedia. Kita diringankan bebannya karena berharap ada timbal balik yang nantinya dapat memberikan kebermanfaatan luas. Mungkin kamu tak tahu, berjualan kecil-kecilan sebenarnya sedang membangun mental wirausaha dalam diri mahasiswa, bagaimana menata mental agar tak lagi pemalu, bagaimana memanage investasi agar menghasilkan laba yang sesuai. Lagipula tidak ada yang tahu jika yang kecil itu lama-lama akan menjadi besar. Ini baru satu contoh, belum perkara lainnya yang juga dapat melatih kemandirian kita.
Berusahalah keluar dari zona nyaman, jangan terlalu menggantungkan hidupmu pada siapapun. Karena satu-satunya tempat bergantung ya tak lain hanyalah DIA, Allah SWT. Selain menumbuhkan semangat belajar, kita perlu mendongkrak semangat juang dalam mengelola kehidupan. Coba ganti pemikiran “Kapan cair” menjadi “Kapan saya bisa berkontribusi? Sampai kapan saya menunggu?”. Done. Life must go on guys, you have choose in your change. Dan untukmu rekanku, yang kini sama-sama berjuang mempertahankan bidikmisi. Mari kita bersinergi, memberdayakan bidikmisi dengan bijak, turut berkontribusi untuk Universitas, pemerintah dan masyarakat. If not right now, when again?
Surakarta, 9 Oktober 2017
By_sosok yang sedang berproses
Comments
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk tulisan yang lebih baik:)