"Kota Impian": The Real Story
"Kota Impian"
Bukan malam rabu, tapi detiknya terasa kelabu.
Yah, kurebahkan tubuh tak berlabuh. Ragaku mematut diri, khayalku menuntut pergi.
Bagaimana tidak? Hal yang sejak enam bulan lalu selalu kuimpikan, kunaungi dalam sujud panjang, kuhaturkan dalam setiap rapalan doa, kupintakan pada orang-orang untuk turut serta meng-aamiin-kannya. Pupus seketika, tak beretika. Kutuliskan nama kota itu menghiasi dinding kamar, kuselipkan kertas kecil bertinta di balik softcase hp sebagai salah satu bentuk ikhtiar, dan tahukah? Orang tua pun berharap besar.
Tapi, sayang angan masih membayang. Mesiu timku kurang membara, hingga rudal melayang tak tepat sasaran. Ah. "Bagaimana lagi, rejekimu cukup sampai disini" gelut batinku.

Makassar. "Ya, aku ingin kota itu. Aku rindu, sekalipun aku tak pernah bertemu". Aneh bukan? Gumaman macam apa itu?. Tatkala serentetan jadwal kulihat, jam keberangkatan hingga waktu sayonara telah berjejer rapi. Orang lain yang berada di posisi itu, bukan aku ataupun timku. Bukan aku yang memimpikannya sejak itu.
Seharusnya kami turut menggenggam jam penerbangan itu. Dan terbang ke kota di luar sana, membanggakan suatu hal yang seharusnya bisa kami banggakan. Takdir berkata lain. Lepas landas harapan dalam kisaran satu bulan yang lalu. Konflik yang menjerat, membuat kami tergopoh-gopoh dikejar waktu yang mengerat. Menangkis kompetitor hebat dengan pertarungan yang mengetat. Runtuh. Kami runtuh dalam bangunan yang kami cipta sendiri.
Akupun segera membelalakkan hati agar menerima kenyataan. Kami belum pantas mendapatkannya, sebab perjuangan kami tidaklah seberapa hingga masih dapat dihitung dengan angka. Kami belum patut. "Mungkin Allah punya rencana lain yang jauh lebih indah daripada ini. Mungkin Allah tengah mempersiapkanku untuk pergi ke kota itu di lain waktu atau? Akan ada kota lain yang juga tak kalah permai untukku, mungkin begitu" pikirku kala membaca pengumuman awal bulan lalu. Sebab bukan tanpa alasan tanpa sebab, ini sudah diperhitungkan matang². Hanya saja aku diminta untuk lebih bersabar dalam menanti, menyongsong esok hari, menjemput bahagia dengan cara mensyukuri.
Ya. Besok seharusnya aku terbang ke kota yang kudamba dengan membanggakan almamater, tapi tidak. Tidak untuk saat ini. Tak dinyana Allah menggantikannya dengan agenda yang jauh lebih indah. Rezeki tak terduga, entah ini buah kesabaran atau keyakinan akan adanya sebuah keajaiban. Yang A telah diganti B. Dan ini yang terbaik, aku yakin itu. Tak pantas rasanya mengeluh kala gaduh. Lantas kepada siapa lagi aku bersimpuh? Akan nikmat dan rahmatNya aku luluh. Terenyuh rapuh.
Surakarta, 22 Agustus 2017
00.02
By_sosok yang sedang berproses
Comments
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk tulisan yang lebih baik:)