True Story: Kemurahan Hati Si Tukang Parkir



Kemurahan Hati Si Tukang Parkir

Pagi itu waktu telah menunjukkan pukul tujuh lebih, seorang perempuan berseragam batik tampak mencari-cari tempat parkir yang pas. Semuanya penuh, sesak. Ia terlambat berangkat, lagi-lagi harus memilah-milah tempat parkir yang bisa memuat sepeda motornya. Celinguk kanan kiri, siapa lagi perempuan itu kalau bukan aku. Aku terbilang cukup bandel saat itu, berangkat sering kesiangan lah dll *jadi nostalgia. Dari kejauhan, sekolah pun tampak lengang. Keringat dingin mengaliri tubuhku. Lalu sosok pria bertubuh gempal di seberang jalan yang sedari tadi mengamatiku, lantas ia maju. Mendekat. “Sini mbak !” perintahnya kala itu mengarahkan kendali sepeda motor yang kutunggangi. Aku mengangguk.

Beliau seperti tengah mencermati ban belakang sepeda motorku, “Bannya sudah halus mbak. Waktunya ganti” ujarnya.
“Hehe iya om makasih, tapi nanti aja deh. Gampang” jawabku menyeringai. Aku yang terburu-buru saat itu segera melintasi jalan raya menuju sekolah yang letaknya berada di seberang tempat parkir. Meskipun aku tahu ucapan tukang parkir sekolah yang sering kusapa dengan sebutan “Om” itu memang benar, aku merasakan keganjalan akhir-akhir ini saat berada di perjalanan. Mungkin kurang nyaman dengan ban itu, tapi aku memilih diam. 

“Tunggu mbak. Sini biar saya ganti saja. Saya punya ban bekas, tapi masih bagus. Mau nggak?” tanyanya menyusulku dari belakang, memberhentikan langkahku. 

Aku bingung “Beneran om? Mau lah om? Tapi nanti aja, yang masang siapa?. Saya mau masuk dulu. Udah telat nih om”.

“Kan saya yang masang bannya mbak. Bawa sini kunci motornya. Kalau dibiarin aja, kelamaan. Bahaya mbak” ucapnya membuatku membulatkan mata.

“Yang bener om? Nggak papa kalau Om D****t yang masangin? Ntar ngerepotin e.”

“Nggak papa mbak, bener. Bawa sini kontaknya. Buruan, udah telat tuh. Gurunya udah masuk kelas” tangannya menjulur ke arahku.

Aku yang sempat tak percaya segera mengambil kontak dari dalam tasku, lantas kuberikan padanya “Makasih banyak ya om”. Aku tersenyum.

Ia menganguk “Tak balikin nanti ya kontaknya”.

“Gampang om, nanti pas pulang sekolah juga nggak papa” jawabku enteng. Saat itu juga aku pun masuk kelas. Aku masih terheran dengan sikap tukang parkir sekolahku itu, ia yang memiliki tampang galak ternyata sisi lain menunjukkan hati yang begitu mulia. Ia yang awalnya dikenal dengan sifatnya yang keras, kini dengan tegas membantah asumsi itu. Mungkin dulu pertama kali bertemu, kami para siswa hanya sebatas menilainya sekilas dari luar tanpa mengetahui dalamnya.

Saat istirahat telah tiba, salah satu teman memanggilku “Fa, dipanggil om D****t di bawah.”

Kelasku yang saat itu berada di posisi lantai 2 membuatku menengok ke arah bawah “Gimana om?” tanyaku.

“Udah nih.”

Aku pun segera menuruni anak tangga, menyusulnya. Pria pemilik jiwa sosial tinggi itu menungguku, lantas memberikan kontak padaku “Motornya ada di sebelah timur ya mbak. Udah tak pasangin. Masih bagus kok bannya.” ia tersenyum tulus.

“Terimakasih banyak ya om. Aduh jadi ngerepotin nih”

“Nggak mbak, santai aja.”

Kami pun akhirnya kembali ke tempat masing-masing. Sungguh sejak saat itu aku berpikir “Orang sederhana itu berjiwa mulia. Tidak semua bisa melakukan hal yang sama seperti beliau. Dia sederhana, dia hanya dianggap tukang parkir sekolah yang juga sudah menjadi keluarga di sekolah kami. Tapi ia dengan bermurah hati memberikan bahkan memasangkan ban untuk seorang siswa biasa sepertiku.”

Aku memang cukup dekat dengan beliau, pria paruh baya itu memang benar-benar mengayomi para siswa. Mungkin sudah dianggap seperti anak. Aku yang sering berangkat terlambat, atau saat berangkat terlalu pagi hingga beberapa kali mendahului beliau. Membuatnya hafal dengan wajahku, kadang kami sering ngobrol juga. Ia sering memberi nasihat-nasihat padaku atau siswa lainnya. 

Aku kagum dengan sosoknya yang sederhana, tapi memiliki hati yang mulia. Tanggungjawabnya menyelamatkan nyawa para warga sekolah, dengan mengarahkan saat penyebrangan jalan atau memudahkan saat memarkirkan kendaraan. Aku sangat berterimakasih pada beliau yang peduli keselamatan nyawaku dengan memperhatikan hal spele yang jarang sekali dilakukan oleh orang lain. Terakhir kali aku bertemu dan berbincang-bincang dengannya yaitu ketika wisuda perpisahan angkatanku. Aku ingat betul, ketika raut wajah bahagia itu menjawab semua ceritaku. Aku yang suka mengurai cerita pada siapapun termasuk pada beliau, menimbulkan simpati. Ia mendengarkan ceritaku, lalu aku meminta doa padanya untuk masa depanku “Om, doain yaa. Semoga aja kedepannya dimudahkan.”

“Iyaa iya mbak, tak doain. Wah Alhamdulillah deh kalau lanjut dan udah keterima di Solo. Ikut seneng dengernya. Ilmu itu penting mbak, tapi disana juga harus bisa jaga pergaulan. Yah, semua itu kembali pada diri masing-masing mbak. Semoga aja lancar ya.” itu terakhir kalimat petuah yang ku dengar darinya.

Sebab setelah keberlanjutanku meninggalkan kota asal, dan berselang setahun setelah itu. Aku mendengar kabar yang mencengangkan, kabar yang sebenarnya sama sekali tak ingin ku dengar. 

“Fa, Om D*****t udah meninggal” chat dari salah satu teman mengabari kabar duka itu. Aku menggelengkan kepala, tak percaya.

“Maksudmu? Serius?”

“Iya, Om yang sering membantu kita menyebrangi jalan di sekolah itu meninggal. Ternyata selama ini mengidap penyakit kanker, dan ini udah stadium 4.”

“Innalillaahi wa inna ilahi rooji’un” aku meneteskan air mata, sungguh aku tak percaya kala itu. Sosok yang selama ini telah membantu warga sekolah, dan teman ceritaku ketika di tempat parkir kini sudah tiada. Ya, beliau bukan lagi sekedar tukang parkir sekolah sebagai juru penyelamat para siswa. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai teman sendiri, mungkin tampangnya memang galak. Tapi ia begitu asik jika diajak bercengkerama. Jujur saja, saat aku menceritakan ulang tentangnya melalui tulisan ini aku pun meneteskan air mata, saat ini pun air mata itu mengalir mengenang jasa-jasanya yang tak bisa kubalas. Masih sama, rasanya tak percaya. Kebaikannya, kemurahan hatinya, kesederhanaannya, selalu menjadi pembelajaran tersendiri buatku. Aku banyak belajar darinya. 

Dan bukan hanya seisi keluarga sekolah saja yang turut berduka, tapi kedua orangtua ku pun sedih. Orangtua ku tentu tahu tentangnya, apalagi ketika kebaikannya dengan suka rela mau menggantikan ban halusku itu. Dan ayahku, dulu ketika masih sering mengantar jemputku. Ayah sering ngobrol dengan beliau, bercerita banyak hal sembari menungguku keluar dari kelas. Tentu saja, ayah mengenalnya dekat.

“Sudah nduk nggak papa, berikan doa yang terbaik saja untuk beliau. Semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah, dan segala dosanya dapat diampuni olehNya” tutur ayah kepadaku setelah medengarkan kisah sosok kepahlawanan om D*****t dari mulutku. Aku mengangguk, tersenyum pahit.


Surakarta,5 Oktober 2017
By_sosok yang sedang berproses

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW TEXT dalam Bahasa Inggris : Definition, Purpose, Characteristics, Generic Structure, and Language Feature

EXPLANATION TEXT dalam Bahasa Inggris : Definition, Purpose, Characteristics, Generic Structure, Language Feature, and Example

MAKALAH SIKLUS HIDROLOGI