Cerpen "My Dream Note"
My Dream Note
![]() |
source: http://hotlink.go2tutor.com/content.asp?id=6554&keywords=note |
Kesunyian malam mulai menyapa. Lampu-lampu di kamar kost teman-teman mulai padam satu per satu, apalagi kini dalam kondisi hujan. Saat yang tepat bagi semua orang untuk merebahkan tubuh dan mengistirahatkannya, khususnya bagi para mahasiswa yang seharian telah berkutat dengan berbagai urusan. Meskipun masih ada sebagian yang terjaga demi menyelesaikan tuntutannya dan aku menjadi salah satu bagian dari mereka. Suasana kos dan cuaca sangat mendukung seseorang untuk terlelap, namun tidak denganku. Aku masih saja bermain dengan tarian pena di atas kertas pelangi, untuk menyelesaikan tugas penting yang menyangkut masa depanku.Ya, aku rela terjaga hanya demi menulis berbagai impian dalam hidupku yang nantinya akan ku tempelkan dalam dinding kamar kostku. Bukan tanpa sebab, ada banyak hal yang terselip dibalik semua ini.
Rintiknya tak kunjung henti, aku masih bertahan dengan berbagai macam alat di sekitarku. Alat tulis, gunting, lem dan sebagainya sedikit membuat kamarku terlihat seperti kapal pecah. Namun aku tak peduli dengan hal itu, kebisingan kota mulai tak terdengar menandakan malam semakin larut. Dan seketika hujan membawa jiwaku ke istana, bersama untuk bernostalgia. Istana dimana telah lama aku tak melihat dan merasakan kenyamanannya.
"Mbak, kau punya banyak mimpi bukan?" tanya seorang pria paruh baya kepadaku dengan sebuah senyuman. Saat itu kami sedang duduk santai menikmati sepiring gorengan hasil tangan ibu di ruang tengah. Dengan nada semangat aku pun menjawab.
"Tentu ayah, aku punya banyaaakkk sekali impian. Tapi mimpiku terlalu banyak" , di akhir kata aku menundukkan kepala.
"Dan itupun mimpi besar yah.." ucapku lirih. Mendengar hal itupun ayah langsung tersenyum kecil sembari menepuk-nepuk pundakku. Akupun bingung dengan sikap ayahku itu.
Tak lama ia pun bertutur "Nak bermimpilah sesukamu, yang banyak pun tak mengapa dan setinggi-tingginya. Jangan pernah malu dengan mimpimu". Aku semakin dibuat bingung, dengan polosnya aku bertanya.
"Mengapa jangan pernah malu ayah? Aku tak pernah malu." Masih bersikap seperti biasa, ayah menjawabnya dengan santai.
"Bagus kalau begitu. Jangan pernah malu dan menyerah ketika suatu saat kau menemukan seseorang yang dengan berani menertawakan impianmu itu. Jadikan hal kecil itu menjadi motivasi terbesarmu. Buktikan bahwa yang mereka pikirkan tentangmu adalah salah." Aku mematut diri disamping beliau sembari mencermati setiap kata-katanya, yang alhasil aku masih mengingatnya meski kini telah bertahun-tahun kalimat bijak itu terlontar dari bibirnya.
Ayah melanjutkan petuahnya "Dan ingat satu hal nak. Letakkan Allah di nomor satu. Jika kau berani bermimpi besar, maka menjadi tanggug jawabmu untuk mewujudkannya."
Dan saat ini aku baru memahami maksud ucapan ayah. Banyak orang yang mencela dan meremehkan mimpi-mimpiku yang terkadang hampir membuatku putus asa. Namun, sekelebat bayang keringat di wajah merekalah yang mengurung niatku untuk menyerah.
Di suatu pertemuan ada seorang motivator yang berkata "Jika kau memiliki banyak mimpi, maka tulislah mimpimu itu. Tempelkan dimana kau bisa setiap saat melihatnya. Bacalah, lakukan tindak nyata yang dapat mewujudkan mimpimu. Ingat perjuangan mereka yang memperjuangkanmu. Biarlah orang-orang membaca tulisanmu, semakin banyak yanh membaca maka akan semakin banyak yang mendoakanmu, sebab ucapan adalah doa. Jangan risaukan mereka yang menertawakanmu."
Hal itulah yang memicu semangatku pada malam ini untuk bergulat pada visi sejuta impian dan menuangkannya di atas lembar demi lembar. Tak peduli dengan keadaan sekitar yang kian lama kian tenang, aku terus saja lanjut menyelesaikan tugasku itu. Seketika sebuah memori melesat dalam ingatanku.
Beberapa Bulan yang lalu, ketika aku sedang menunggu pelanggan dagangan orangtuaku. Aku bertemu seorang teman zaman SD, dia membeli batagor yang merupakan dagangan ayah dan ibuku. Kebetulan ayah sedang silaturahim ke rumah temannya di Jakarta dan ibuku sedang mengurusi rumah saat itu. Sehingga yang jualan pun aku dan adikku. Sembari melayani, aku dan temanku menyempatkan untuk berbincang-bincang yang diawali seperti biasa yaitu obrolan basa basi. Akhirnya tibalah pada sebuah pertanyaan yang menyangkut impianku.
"Qhey kita kan udah lulus SMA, nah setelah ini kamu pingin kemana?"
Langsung saja tanpa pikir panjang ku jawab "Aku pingin kuliah, soalnya aku dari dulu emang pingin banget kuliah. Lah kamu mau kemana?".
"Ohh gitu to.. " responnya singkat sembari melontarkan senyuman kecut padaku. Yah aku belum menyadarinya saat itu. Namun..
"Kalau aku mau kerja aja, buat biayai sekolah adik. Aku nggak kuliah, nggak mau ngrepotin orangtua terus. Mending aku kerja dulu buat bantuin orang tua, kasihan mereka kalau harus menanggung beban kuliahku. Kuliah ngabisin uang." sambungnya dengan nada tak sedap yang membuatku jadi tak enak hati. Hemm.. Saat itu perasaanku campur aduk nggak karuan. Seolah tak mau kalah dalam dialog itu, aku buru-buru mencergah pendapatnya.
"Kata siapa? Kan kita bisa nyari beasiswa ataupun nyambi kerja saat kuliah bukan? Jadi menurutku asal kita ada niat pasti ada jalan. Yah itu sih keinginan pribadi masing-masing, nggak papa kok kita mau lanjut kemana itu terserah yang penting hal itu baik buat kita", ujarku penuh keyakinan. Namun dia malah tersenyum sinis menunjukkan ketidaksukaannya atas ucapanku. Kemudian berlalu begitu saja dariku setelah menaruh uangnya di atas meja gerobak. Hemm.. Sejenak aku merenung selepas itu, "apa iya ucapanku tadi ada yang salah?" tanyaku dalam hati pada diri sendiri.
Tak hanya itu, pada suatu senja kelabu di ruang tamu. Aku dan sepupu perempuan ku sedang berkumpul dan saling melepas canda tawa menikmati senja yang kala itu ditemani oleh sang mega abu-abu. Muncullah pertanyaan dari sepupuku yang diajukan kepadaku "Qheyfa, setelah ini mau dilanjut kemana?"
"Emm, kemana ya mbak.. Hehe" sahutku singkat. Mbak Sasha pun justru tersenyum simpul kemudian berujar.
"Halah, aku lihat catatan impianmu yang tertempel di lemari, kau ingin kuliah bukan? "
"Hehe iya i mbak, lah emangnya kenapa? " ku mencoba menanyakan hal ini.
Dan.. Mulailah ia menjawab dengan seabrek penuturan yang cukup membuatku terkejut "Hahaha mau ambil jurusan pendidikan? Mau jadi guru to Qhey? Mending nggak usah, guru itu gajinya sedikit. Nggak usah kuliah aja sekalian, kamu nggak kasihan? bapak ibumu kerja terus tiap hari untuk membiayaimu dan adikmu. Apa nggak lebih baik kamu setelah ini kerja aja? Nggak usah kuliah, kuliah tahun depan aja. Mending kamu bantuin orangtua dulu."
Jlebbbb!!speechless menghampiriku saat itu. Aku tak bisa mengatakan bahwa apa yang dikatakan mbak Sasha itu salah, sebab memang pada kenyataannya aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu. "Namun tak patutkah jika aku ingin mewujudkan tekadku itu? Toh ini demi kebaikan mereka bukan? Untuk memperbaiki garis kehidupan keluargaku agar kelak orangtuaku dapat hidup bahagia di usia senja, dan kelak aku yang akan menyekolahkan adikku. Salahkah? " gumamku bertubi-tubi dalam hati.
"Iya mbak, aku tahu itu. Tapi kan aku bisa mencari beasiswa" kataku tak jengah dari keputusasaan, meski saat itu hatiku tak karuan. Dan hampir saja aku termakan omongan-omongan orang sekitar yang tak mendukung untuk mewujudkan tekadku itu. Lagi dan lagi "Orangtua ku saja tak pernah melarangku? Lalu mengapa mereka.. Hemm" tuturku dalam bisu.
Mbak sasha pun menjawab dengan pasrah "Yah, itu sih terserah kamu Qey".Semenjak itu aku tekun belajar, belajar dan terus belajar. Demi mewujudkan tanggung jawabku sebagaimana yang pernah ayah amanahkan padaku.
Malam semakin larut dan aku masih terjaga dalam kesunyian. Aku memang menuliskan banyak impian dalam sebuah catatan yang kutempelkan lemari dalam istanaku. Catatan itu amat berharga bagiku sebab dengannya, anganku mulai terwujud satu per satu. Salah satunya yaitu aku mampu menduduki bangku perkuliahan di sebuah perguruan tinggi negeri saat ini yang kala itu pernah diperebutkan oleh banyak orang. Dan aku bersyukur dengan hal itu, meski harus melalui liku yang panjang dan arus kesulitan pun ku terjang.
Ya, seperti itulah sebuah harapan. Selalu menuai pro dan kontra, semua menganggap persepsi dirinyalah yang paling benar tanpa menelaah asumsi orang lain yang terkadang memiliki esensi lebih baik dari asumsi kita. Walaupun pada akhirnya mereka tak bisa memaksakan kehendak orang lain juga.
Di keheningan malam yang kian lama rasa dingin kian menembus tulang, aku pun mengakhiri coretan-coretan kecil itu. Apa saja yang kutuangkan dalam lembaran kertas itu? Pada akhir tahun ini aku berharap dapat berprestasi di perkuliahan, mendapatkan beasiswa agar mampu meringankan beban orangtua pun mampu berbagi pada mereka yang membutuhkan. Dan salah satu cita-cita besarku yang ku tulis untuk tahun depan yaitu dapat pergi ke luar negeri, tak sekedar jalan-jalan namun untuk meniti ilmu disana. Aku berharap dapat menjuarai berbagai lomba di kancah nasional maupun internasional. Semogapun ku haturkan.
Begitulah diriku, sejak dirumah dan hingga kini menjadi seorang Rantau peranya ilmu. Selalu menuliskan impian-impian di catatan kecil yang nantinya akan ku tempelkan, mungkin hatiku terbuka karena ucapan motivator itu. Dan sifat keras kepalaku mengalahkan asumsi negatif orang-orang yang mengekangku, tapi kujadikan mereka sebagai motivasi terbesarku. Karena catatan itu, telah membawaku jauh pada keajaiban serta kehidupan yang lebih baik. Kini disini tatkala keluarga tak mudah dijangkau, aku akan membawa mereka bersama doaku dalam mimpi yang salah satunya berada dalam goresan pena ini. Yang dengannya aku selalu ingat merekadan semangatku kian berkobar setiap saat ku membacanya. Ya, sebab bagiku dream note adalah caraku mendekap mimpi pun salah satu ikhtiarku mendekatkan diri kepada Rabbku.
"Catatan kecil itu hampir mengubah seluruh hidupku"
By_sosok yang sedang berproses
Comments
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk tulisan yang lebih baik:)