Cerpen "Pesan Rindu Untuk Ayah"
Hembusan angin di pagi ini begitu menyejukkan, semilirnya menembus hingga pori-pori kulit manusia. Arka masih terbaring ditempat tidurnya, sedangkan jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Ayah Arka sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja dan ibunya menyiapkan sarapan untuk kedua pangeran itu. Dari kejauhan sang ibu berteriak "Arka.. Bangun nak, sudah siang. Kamu harus berangkat sekolah sayang".
"Biar Ayah saja yang membangunkannya bu" ucap Ayah Arka lalu pergi menuju kamar. Bocah berusia 7 tahun itu masih terkapar dipulau kapuk, namun keasyikannya dalam dunia mimpi diusik begitu saja oleh Ayahnya.
"Nak, bangun ! Bangun yuk, siap-siap berangkat sekolah. Berangkat sama Ayah yuk" dengan sekejap Arka terjaga dari tidurnya dan memeluk Ayahnya sembari menggerakkan bibirnya yang masih kaku.
"Baiklah.. Arka sayang Ayah, Ayah jangan pergi ya.." seraya mengukir senyum kecil dibibirnya membuat sang Ayah tak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengelus rambut putra kecilnya. Lalu mereka pun bersiap-siap dan bergegas menuju ruang makan untuk melakukan rutinitas bersama, sarapan.
Ayah menyendokkan sesuap nasi beserta potongan ikan laut ke mulut Arka, lantas berkata “Aaa’ dulu sayang, ayah suapin.”
Arka menoleh segera membuka mulutnya, tersenyum lebar. Ada kebahagiaan yang terpancar di matanya. Ibu yang sedang mengambilkan lauk ke piring ayah berucap penuh semangat “Nah gitu dong, makan yang cukup sayang. Biar putra ayah dan ibu cepat besar dan tumbuh cerdas”. Arka mengangguk pelan. Ayah yang duduk sejejer dengannya pun mengecup pipi kanan bocah kecil itu, tersenyum. Tulus. Lalu maju mendekatkan diri pada ibu Arka, mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang. Arka menatap mata ayah dan ibunya, berbinar. Ia sangat bahagia, entah dengan cara apa bocah yang masih menduduki bangku kelas 1 SD itu mengekspresikan kebahagiaannya. Yang dia tahu, bahwa ia tak ingin kehilangan dekapan kasih ayah dan ibunya.
***
Sepersekian detik, siluet itu berkelebat di meja makan tepat di hadapan Arka. Ia tersedak. Lalu mengambil air minum dan mereguknya. Terasa pahit, pahit sekali tak seperti biasanya.
“Kamu ini kenapa? Makan itu jangan sambil ngalamun. Habisin makanannya, setelah itu kita berangkat” ucap seseorang dari seberang meja makan yang tak lain adalah ibunya. Intonasinya berbeda, sedikit membentak. Tapi kali ini tak ada lagi yang membela Arka jika ibu sedang memarahinya. Ya. Bayangan itu tak lepas dari memori Arka yang notabenenya masih belia, bayangan mengenai kebahagiaan terakhir yang ia rasakan saat di meja makan. Ia terus menatap sendu kursi kosong disampingnya.
“Arghh. Arka nggak mau habisin, udah kenyang.” Ia menggeletakkan sendok dan garpu di piring dengan cukup kasar sehingga menimbulkan bunyi yang membuat darah ibunya naik.
“Arkaa !”. Seketika Arka tertunduk, lantas beranjak pergi. Baru beberapa langkah ia meninggalkan meja makan. Suara ibunya terdengar lagi.
“Berhenti”.
“Mau kemana kamu?” tanya ibunya. Arka membalikkan badan, melihat sosok yang selama sebulan terakhir membersamai kehidupannya seorang diri. Ibunya menatap tajam, menunggu jawaban. Tapi Arka diam, lalu tertunduk.
“Apa kau mau menyusul ayahmu, hahh??!!” bentak ibu. Semenjak kepergian Ayah Arka tepat sebulan yang lalu, meninggalkan kenangan indah di meja makan. Sang ibu jadi mudah marah, sensian, over protectiv, possesiv hingga seringkali Arka menjadi bulan-bulanan luapan amarahnya. Arka tidak tahu menahu kenapa ibunya berubah drastis seperti itu, ia tak tahu sesuatu apapun. Ia sendiri tak tahu ayahnya pergi kemana. Arka masih terlalu dini untuk memahami semua itu. Ia masih terpaku dengan jarak sekitar dua meter dari meja makan. Menatap sendu sang ibu yang kini sudah tertunduk lesu yang kemudian menghapus air mata yang mengaliri pipinya.
Arka memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya untuk yang ke sekian kali, tanpa ragu sedikitpun. Meski ia masih dapat menerka jawaban apa yang akan diberikan ibunya nanti “Ibu, dimana Ayah sekarang?”. Benar saja, sontak perempuan itu melotot tajam ke arahnya. Arka sudah tahu, sebelum mendengar jawaban ibunya ia bergegas pergi ke kamar. Bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
***
“Arka, dimana ayahmu? Haha..” tanya salah seorang anak meledek.
Yang lain tak mau kalah “Bukannya dulu kau diantar oleh ayahmu? Dimana sekarang? Wkwk”
“Ihh jangan dekat-dekat sama anak ingusan seperti dia.” seorang yang lain berkata songong, merasa jijik.
Ibu Arka yang mengetahui hal itu dengan sekejap melempari anak-anak polos itu dengan lidah tajamnya. Ketajaman yang justru melukai anaknya sendiri.
“Kalian itu kurang kerjaan apa? Arka itu tidak memiliki ayah. Apa kalian puas sudah meledek Arka? Kecil-kecil sudah berani begini kalau besar nanti mau jadi apa ??” matanya mendelik, sepercik rasa sedih berusaha ia tutupi dari anaknya. Seketika rombongan teman Arka itu melesat pergi menjauh dari pandangan Arka.
“Ibu kenapa berkata seperti itu pada mereka?”
“Kau ini kenapa ka, sudah jelas-jelas ibu belain malah bertanya seperti itu pada ibumu sendiri. Mereka meledekmu, ibu tidak ingin melihat kau seperti tadi” ibu Arka memalingkan wajah, meski sebenarnya perlakuan itu menunjukkan kasih sayang pada anaknya begitu dalam, namun hanya saja caranya yang dirasa tidak tepat.
Arka mendongak, berusaha mencari pembenaran dari ibunya. Menatapnya lama “Ayah Arka dimana ibu?”
“Kenapa ibu mengatakan bahwa Arka tidak memiliki Ayah?” lanjutnya lagi.
Sang ibu tak lagi mampu membendung air di sudut matanya, ia memeluk Arka “Apa kau ingin menyusul ayahmu hah? Apa kau tega meninggalkan ibu? Ayahmu sudah pergi jauh.”
“Tapi kemana ibu?” Arka melepas pelukan ibu, turut menangis dihadapan ibu.
“Kenapa kamu ini tidak bisa diam Arka? Sudahlah, jangan bahas hal itu”. Itulah awal mula Arka mengetahui jawaban ibu yang sampai saat ini masih dilontarkannya. Jawaban yang masih terngiang jelas di telinga Arka. Sama persis. Pertanyaan Arka akan selalu berujung pada ambang ketidakpastian. Jangan dibahas. Selalu itu yang terucap dari bibir ibunya, dan ia mengucapkannya dengan bibir gemetar juga mata yang berkaca-kaca. Sampai detik ini pun seperti itu. Oleh sebab itu Arka sudah menerka jawaban apa yang akan diberikan oleh ibunya ketika ia bertanya tentang Ayahnya.
Sebelum keberangkatannya, di kamar Arka. Sebuah kertas yang terbungkus dalam bingkai membuat langkah Arka berhenti sejenak, lantas meraba-raba kaca yang menjadi sekat antara sentuhan tangannya dengan kertas itu. Kertas yang menggambarkan wajah dirinya, ditemani kedua orang tuanya yang saat itu memeluknya manja. Ia menelan ludah, tersenyum pahit.
Belum terlalu siang, Arka menghampiri ibu yang sedang memanasi motor matic miliknya, pemberian ayah beberapa tahun yang lalu ketika kaki kecil Arka mulai bisa menopang tubuhnya, berjalan.
“Ayo, naik.” ucap ibunya lirih. Sejak itu pula, kata sayang jarang menggema indah dari bibir ibunya. Arka terheran, ia rindu semua itu. Semua yang kini telah tertutup awan kelabu. Mereka pun meluncur pergi ke sekolah.
***
Sepulang dari sekolah, sebelum Arka melangkahkan kaki masuk ke rumahnya. Terdengar sesuatu yang tak ia mengerti, samar-samar suara ayah dan ibu bersaut-sautan bernada keras. Hingga Arka bergegas masuk ingin mengetahui apa yang terjadi.
“Assalamu’alaikum.. Ayah, Ibu ada apa?” tanya polos seorang bocah dibalik pintu, terlihat jelas bahwa ia sedang takut. Pertengkaran hebat itu pun luruh sejenak.
Ibu segera maju menghampiri Arka, mencium dan memeluknya “Kau sudah pulang sayang? Dengan siapa?”. Arka terdiam, mencoba mencari jawaban dari kedua orang tuanya.
Ayah pun seolah turut mengalihkan perhatian, selangkah maju mendekati putranya “Maaf sayang, Ayah belum sempat jemput kamu nak.”
“Berhenti. Mau apa kamu mas? Jangan bawa Arka bersama wanita itu.” ucap ibu yang tengah digandrungi emosi seraya menarik lengan Arka lantas memeluk kepala kecilnya.
“Kau ini kenapa? Bisakah sejenak kau hentikan pertengkaran kita? Dia masih kecil, jangan bawa dia ke masalah kita.” lantang dan tegas. Ayah Arka kembali ke tempat semula, mundur satu langkah.
“Ayah dan ibu bertengkar? Kenapa?” kini Arka mulai meneteskan air matanya. Berlari menuju kamarnya, melempar tas sekolah di sembarang tempat tidur. Ia duduk di pojok kamar, memeluk kedua lututnya. Arka mendengar pertengkaran hebat dari luar rumah dan benar saja.
“Tu kan dia jadi pergi mas, kamu tega sama kita. Kenapa ada wanita itu? Siapa dia ?”
“Harus berapa kali aku menjelaskan padamu Shella? Dia hanya teman kerja ku. Ibumu salah paham. Aku hanya sedang berbisnis dengannya, oleh karena aku satu mobil dengannya. Aku tidak berbuat apa-apa sayang.” Ayah Arka berusaha menjelaskan dan menenangkan ibu Arka.
Berawal dari kesalahpahaman ibu mertua Ayah Arka pada dirinya, yang melihat ia duduk semobil dengan seorang wanita. Hal itu terjadi saat di lampu merah. Wanita yang dimaksud tak lain adalah rekan kerja Ayah Arka. Namun nahas, ibu Arka tidak mempercayainya. Ia melontarkan puluhan tudingan yang tidak-tidak. Situasi semakin panas, sementara Arka masih duduk termenung seraya mendengarkan percakapan Ayah dan Ibunya yang kian memuncak.
“Sudahlah mas, kau tak usah lagi mengelak. Aku sudah tahu semuanya, kedokmu sudah terbongkar. Dia selingkuhanmu bukan?” sang Ibu memicingkan mata.
“Ya Allah Shella.. Kenapa kau lebih percaya orang lain daripada aku?” tatap Ayah Arka memelas.
“Ibuku itu bukan orang lain mas. Sekarang, ku mohon kau pergi dari rumah ini. Tinggalkan aku dan Arka sendiri.” pinta ibu Arka sambil menyeka air matanya.
Ayah Arka membelalakkan mata “Apa kamu bilang? Mana mungkin aku meninggalkanmu dan putra kita begitu saja? Jangan jadikan ia korban Shella. Ia juga butuh kasih sayang dari ayahnya.”
“Ia tak butuh kasih sayang dari seorang ayah pengecut sepertimu. Biarkan ia besar bersamaku mas. Pergi dari sini !” bentak Ibu Arka, jari telunjuknya mengacung ke arah pintu keluar. Wajahnya berpaling, perih.
“Baiklah jika itu maumu. Aku berharap kau akan menyadarinya suatu saat nanti.” Perlahan langkah kaki Ayah Arka menjauhi tempat perdebatan hebat itu. Di lain sisi, kepala seorang anak dengan mata sembab menyembul dari pintu kamar. Ia tak berani keluar dan menghentikan langkah kaki Ayahnya yang kini semakin jauh meninggalkannya. Meski sebenarnya ia ingin, tapi ia takut pada ibunya.
Kejadian sebulan yang lalu masih sangat membekas di hati Arka, ia mengingat rapi semua susunan tragedi itu. Arka selalu ingat semua itu tatkala ia akan memasuki rumahnya selepas pulang sekolah, seperti hari ini. Ya, hari ini ketika ia baru saja melepaskan sepasang kaos kakinya di teras depan rumah. Sampai saat ini ia tak tahu kemana Ayahnya pergi, yang ia tahu “Kenapa Ayah tega meninggalkanku dan ibu?”. Bocah itu masih terlalu polos, ia juga tidak mengerti kenapa Ibunya selalu bilang bahwa dirinya sudah tak lagi memiliki Ayah. “Ayah Arka belum meninggal, kenapa ibu selalu bilang seperti itu?” dan saat semua problem keluarganya menerawang bebas ke alam pikirnya, ia akan menangis dan menyendiri. Arka merasa tertekan dengan beban yang ia pikul di usianya yang masih terlalu dini, ditambah lagi sikap ibunya yang kini sering memarahinya terutama jika berbicara tentang Ayah.
Dimana saat anak-anak sebayanya sedang asik bermain bersama keluarga lengkapnya, bahagia atas perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya. Ia hanya akan termenung ketika melihat teman-temannya tengah dibelai manja oleh Ayahnya. Kelas 1 SD, memang belum mengerti apa-apa. Tapi Arka memahami satu hal, sebenarnya ada rindu yang tersingkap dari Ibu pada Ayah dibalik amarah dan kebenciannya. Ada kasih sayang begitu dalam untuk dirinya tatkala emosi Ibu tiba-tiba memuncak. Entahlah, Arka hanya seorang bocah yang sedang berusaha memahami nasib dirinya dan keluarganya, ia hanya anak yang merindukan kebahagiaan keluarganya.
***
Senja di tepi pantai tampak begitu indah. Dua bulan berikutnya, kini Arka bersama Ibunya pergi untuk menghela nafas dari konflik yang tak berujung itu. Awan menari bebas di hamparan cakrawala, burung-burung turut menghiasi langit orange. Gulungan ombak menghempas bebas, beberapa hewan kecil terdampar karenanya. Arka telah menuliskan sepucuk surat rindu untuk Ayahnya dan akan menaruhnya di atas aliran air laut. Ia berjalan kecil, memegang erat sebuah kertas penuh kerinduan, tersenyum amat bahagia. Ibunya sedang pergi membeli makan malam untuk mereka. Sebelum ibunya kembali, Arka berpikir untuk bergegas ke tepi pantai. Kemudian ia mempercepat langkahnya, lalu berlari.
“Aduh, maaf.” Arka segera meringkuk akan mengambil kertas yang lepas dari genggaman tangannya. Namun sebelum ia mengambilnya, kertas itu berhasil berpindah tangan pada seseorang yang menabraknya tadi saat berlari. Arka sangat ketakutan, lipatan kertas itu dibuka oleh seseorang yang ada di hadapannya. Ia berusaha merebutnya, apa daya tangannya tak sampai.
“Assalamualaikum Ayah.. Bagaimana kabar Ayah sekarang? Arka berharap agar Ayah selalu baik-baik saja. Tahukah yah? Arka sangat merindukan Ayah? Sudah lama Arka menyiapkan surat ini untuk Ayah, dan menunggu waktu yang tepat untuk mengirimkannya. Mungkin saja, ombak di pantai ini dapat menghantarkan surat ini untuk Ayah. Itulah harapan besar Arka, setelah keinginan Arka untuk bisa bertemu dengan Ayah.
Ayah, Arka selalu berdoa kepada Allah agar Ayah dapat kembali bersama Arka dan Ibu, agar Ayah dapat memeluk Arka lagi. Arka ingin semua seperti dulu, jika Ayah membaca ini. Balas pesan Arka yaa. Arka sangat merindukan Ayah, Arka sayang Ayah.”
Untuk : Ayah Arka tercinta
Dari : Arka
Arka menunduk ketakutan. Sedangkan seseorang yang kini berdiri di hadapannya menatap lama wajah mungil itu. Kemudian memeluk Arka sangat erat. Arka tidak tahu, ada apa sebenarnya ini. Ketika seseorang itu melepas pelukannya dan menyentuh lembut pipi Arka lantas mengecup keningnya, ia tercengang.
“Ayah !” matanya berbinar penuh kebahagiaan. Arka hanyut dalam dekapan sang Ayah dibawah langit senja, pasir putih menjadi saksi pijakan dua pasang kaki manusia yang tengah diterpa badai kerinduan.
By_sosok yang sedang berproses
Inspiration of the real story.
Comments
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar untuk tulisan yang lebih baik:)